MEMBBUAT ESEI




PENGUPAYA’AN GO GREEN AGAR DI TERAPKAN DI KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Sejak isu pemanasan global yang lebih dikenal dengan global warning ramai dibicarakan orang, baik ditingkat internasional maupun lokal, secara drastis kesadaran lingkungan menjadi point penting dalam kehidupan manusia. Tiba-tiba saja gerakan Go Green menjadi begitu popular dan bergerak secara serempak di hampir seluruh penjuru dunia. Lalu apa sesungguhnya Go Green itu? Timbul banyak pertanya’an di benak saya mengenai Go Green. Setiap aspek kehidupan pun dipenuhi dengan gerakan peduli lingkungan, mulai dari penataan rumah/kantor yang ramah lingkungan, hingga kebijakan perusahaan yang melabeli diri dengan spanduk Go Green yang dipasang mencolok, Dalam pengupayaan “Go Green”, sudah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu, manusia telah mengenal “Daur Ulang” sebagai salah satu cara penghijauan yang menguntungkan. Saat ini di beberapa kampus di indonesia ada banyak mahaiswa yang mendirikan komunitas tentang Go Green termasuk di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kegiatan seperti sangat cocok sekali di terapkan di kampus apalagi sekarang ini saatnya musim kemarau.
Umumnya, saat semua orang ditanya tentang pentingnya penyelamatkan lingkungan, secara serempak pasti menjawab, YES. Tetapi, mereka belum paham, jika menyelamatkan lingkungan akan ber dampak pada pengorbankan kesenangan mereka, misalnya pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, tidak merokok, tidak menggunakan listrik secara berlebih, hingga pengurangan penggunaan pendingin ruangan. Atau yang lebih ekstrim, tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang merusak lingkungan. So, gak salah jika Go Green merupakan hadiah termahal yang dapat kita berikan pada anak cucu kita. Konsep Go Green atau kembali ke alam dengan memperhatikan kondisi lingkungan, sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan mengurangi ancaman pemanasan global.    
Karena itu, secara sistematis ada beberapa prinsip baku yang sudah menjadi semacam acuan dalam gerakan Go Green di seluruh dunia.Prinsip 4R menjadi bagian prinsip yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang sadar akan pentingnya penghijauan. Reuse (Menggunakan kembali). Ada baiknya, jika kita menghindari barang-barang yang hanya bisa sekali pakai. Meng-charge baterai, menjadi salah satu contoh ketimbang kita membeli yang baru, yang hanya menambah timbunan sampah. Reduce (mengurangi).kantong plastik dan beberapa lainnya, sebaiknya di hindari dan mengurangi penggunaannya. Karena barang-barang tersebut sulit untuk di daur ulang dan jikapun bisa akan menghabiskan bahan bakar yang lebih banyak untuk mengolahnya. Recycle (Mendaur Ulang). Seperti Judul ESEI ini, daur ulang menjadi hal terbaik yang bisa kita lakukan dan justru bisa menguntungkan kita menemukan inovasi baru, juga sebagai ladang bisnis yang menggiurkan untungnya. Replace (Mengganti). Untuk mengurangi limbah plastik dan barang-barangyang sulit di recycle dengan barang yang lebih aman lingkungan. Seperti mengganti kantong plastik dengan tas belanjaan terbuat dari kain ataupun mengganti tempat makanan styrofoam dengan tempat makanan dari mika.

So, sayangilah Bumi dan bagikan inspirasinya!







asal usul desa paciran



Asal Usul Desa Paciran

Paciran adalah nama desa atau salah satu kecamatan di kota lamongan. Di sana adalah tempat di mana Saya menuntut ilmu dari mts sampai aliyah, serta mondok di sana. Saya sering mendengar cerita tentang  “asal usul desa Paciran” . pastinya ada perbeda’an pendapat mengenai asal usulnya. Oleh karena itu, pasti ada potongan cerita yang hilang sehingga ditambahi dengan cerita yang bisa lebih menarik para pendengar. Legenda “asal usul desa Paciran” ini saya dapatkan dari guru saya waktu sekolah di aliyah beliau adalah seorang kiyai dari sendang duwur yang mengerti banyak tentang sunan sendang duwur (raden nur rahmat). Beliau menceritakan tiga versi antara lain :
Versi yang pertama yaitu pada zaman dahulu kala, ada seorang ulama’ yang berasal dari keturunan timur tengah yakni Raden Nur Rahmat. Beliau termasuk salah satu penyebar agama Islam di daerah pantura (pantai utara). Dalam usahanya, dia berkeinginan mendirikan tempat untuk pengajaran dan pendidikan serta penyebaran agama Islam (pondok pesantren). Maka, dia berkeinginan mendirikan pembangunan pendidikan tersebut. Mula-mula, sebuah bangunan atau surau yang semula terletak di daerah Demak Bintoro hendak di pindah di sebuah tempat yang jauh untuk dijadikan pusat pendidikan dan pengajaran, serta penyebaran agama Islam. Dengan izin Allah, ulama’ tersebut mampu memindahkan bangunan tersebut ke tempat lain. Tetapi sayang, dalam perjalanan pemindahan telah terjatuh salah satu dalam bahasa Jawa telah jatuh sebuah pintu bangunan atau dalam bahasa Jawa yang disebut “cicir” dan akhirnya tempat jatuhnya benda tersebut dijadikan nama sebuah desa yang bernama “Paciran”.
Bangunan tersebut sampailah pada sebuah tempat yang di kehendaki Allah yang dikenal dengan nama Sendang Duwur . Disana, selain terdapat sebuah bangunan tempat penyebaran agama Islam, juga terdapat satu buah sumur yang yang langka dan jarang dijumpai di daerah manapun. Karena untuk mendapatkan air di dalam sumur, biasanya ditimba dengan menggunakan tangan. Tetapi untuk pengambilan air di dalam sumur tersebut, harus dengan cara menggiling tali yang diputar dengan kaki. Oleh masyarakat disekitarnya, sumur tersebut diberi nama Sumur Giling. Menurut masyarakat sekitar, air sumur giling mampu dijadikan obat untuk mengobati penyakit tertentu, dan lain-lainnya. Pencipta atau penggali sumur tersebut adalah Sunan Sendang (Sunan Raden Rahmat).
Versi yang kedua yaitu pada zaman dahulu, Raden Nur Rahmat berkunjung ke kediaman Nyai Ageng Tirtayasa di Rembang, Jawa Tengah. Setibanya disana, beliau melihat musholla milik Nyai. Raden Rahmat berniat untuk membelinya, akan tetapi Nyai ajeng menolak musholla itu untuk dibeli. Beliau memberbolehkan Raden Rahmat untuk memiliki musholla tersebut, akan tetapi tidak dengan membelinya, melainkan dengan membawa musholla itu sendiri ke kediamannya tanpa bantuan dari siapapun. Mendengar jawaban Nyai Ageng, Raden Rahmat kebingungan dan beliau kembali pulang.
Di tengah perjalanan, beliau teringat pada salah satu guru besar yang tinggal di desa Sedayu lawas, tepatnya di Puncak Gunung Menjulok. Beliau berfikir untuk berguru disana dengan maksud mendapatkan ilmu Kadidjayaan dari sang guru supaya beliau bisa membawa musholla dari Rembang ke Sendang agung seorang diri. Melihat i’tikad Raden Rahmat, sang guru dengan baik hati bersedia mengajari Raden Rahmat sebuah ilmu dengan ketentuan beliau menghadap Nyai Ajeng Tirtayasa dan menegaskan kembali tawaran untuk memboyong musholla. Apabila Nyai Ageng tetap menyuruh mengangkat sendiri, maka jawab dengan tegas bahwa beliau siap sambil menghentakkan kaki kanan tiga kali ke tanah. Insya Allah keinginan tersebut akan terlaksana.
Setelah menemui Nyai Ageng, Raden Rahmat langsung menghentakkan kakinya tiga kali. Pada waktu itu juga musholla beserta Raden Rahmat terbang ke angkasa. Dalam perjalanannya, beliau beristirahat sejenak di gunung Punden, Sentono Kulon. Menjelang adzan awal, ada seorang ibu rumah tangga yang menepuk-nepuk boran dengan entong yang akan dipakau untuk memasak beras. Ketika mendengar suara tersebut, Raden Rahmat bergegas melanjutkan kembali perjalanannya karena dikira diusir oleh ibu tadi. Ditengah perjalanannya, beliau melewati pohon beringin yang terletak di dusun Penanjan. Disanalah pintu musholla yang dibawa oleh Raden Rahmat jatuh. Namun, Raden Rahmat tetap melanjutkan perjalanannya menuju Sendang Agung. Mendengar jatuhnya pintu yang tidak wajar, penduduk pun ramai membicarakannya. Mereka banyak terucap kata “cicir” yang artinya jatuh. Hingga akhirnya disepakati bahwa desa tersebut diberi nama “Paciran”, yang berarti keciciran lawang.
Versi cerita yang ketiga adalah langsung dihubungkan dengan desa Sendang Duwur. Pada mulanya, ada seorang tokoh di Sendang Duwur yang bernama Raden Nur Rahmat. Beliau berasal dari desa Sedayu Lawas, kecamatan Brondong. Akan tetapi setelah kematian ayahnya, beliau berpindah ke dusun Tenon guna menyebarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Akhirnya Raden Rahmat mendapatkan gelar Sunan Sendang. Setelah mendapat gelar tersebut, Sunan Sendang diperintahkan oleh Sunan Drajad mendirikan masjid dan pergi ke Mantingan, Jepara, Jawa Tengah untuk menemui Mbok Randa Mantingan (Nyai Ratu Kalinyamat) untuk membeli pendapanya seharga seyuto salebak ketheng. Akan tetapi, Mbok Randa Mantingan tidak mau dibeli dengan uang melainkan dengan syarat Raden Nur Rahmad harus berpuasa 41 hari tidak tidur tidak makan dan tanpa bernafas. Akhirnya setelah selesai puasa, atas izin Allah Raden Nur Rahmad mengangkat masjid tersebut dari Jepara menuju Sendang Duwur. Sewaktu diperjalanan yang sudah mendekati Sendang Duwur, pintu masjid itu terjatuh di sebuah desa yang saat ini dinamakan desa Paciran. Orang-orang Paciran menyimpan pintu tersebut hingga saat ini.
Dari ketiga versi diatas, dapat kita ketahui beberapa persamaan antar cerita. Yang pertama yaitu tokoh utama dalam cerita tersebut, yaitu Raden Nur Rahmat (Sunan Sendang). Persamaan yang kedua adalah keinginan sang Sunan Sendang untuk memindah masjid menuju Sendang Duwur. Persamaan yang terakhir yaitu pemberian nama Paciran yang disebabkan karena jatuhnya pintu masjid atau musholla yang dibawa oleh Sunan Sendang.